Jurnalisme Politik dan Politik Jurnalisme, Sebuah Fenomena Masa Kini


Harmegi Amin *

Kurang lebih tiga dekade, aktivitas jurnalisme tanah air (Indonesia) hidup di bawah bayang-bayang vandalisme dan otoritarian rezim orde baru. Kondisi ini membuat insan media sulit menemukan panggung ekspresi untuk menyalurkan hasrat kebebasan mengeluarkan pendapat, mengungkap fakta dan mengambil posisi penting dalam program edukasi lewat media. Usai rezim Orba jatuh, ternyata bukan hanya wajah birokrasi yang berubah, pun aktivitas jurnalisme telah menampakkan face baru. Kebabasan bermedia akhirnya lebih bermakna dengan terbukanya ruang yang relatif lebih "seksi" dan luas di era reformasi kendati kekerasan terhadap wartawan dimana-mana masih saja terjadi.

Terbukanya kran baru Pers reformasi ini kemudian membawa konsekuensi kebebasan Pers masa kini, dimana kegiatan jurnalistik makin tumbuh subur. Begitu banyak orang yang kemudian turut mengelolah informasi seluas mungkin, bahkan nyaris sulit membedakan mana berita produk jurnalistik dan yang bukan karya jurnalistik. Pandangan subjektif penulis bahwa orang awam tidak mampu membedakan berita akibat rendahnya edukasi bermedia. Akhirnya Negara pun tampak kebingungan memfilter berita atau hoax yang mengalir melalui arus informasi yang dengan cepat masuk ke semua kalangan. Banyaknya informasi palsu, bohong atau yang lebih dikenal dengan hoax ini, beredar secara massif khususnya di media siber (internet). Petunjuk dan ketentuan pengelolaan media siber nyaris diabaikan. Kenyataan ini justru menjadi tantangan baru dunia jurnalisme masa kini. Dewan Pers sebagai lembaga yang bertugas sebagai medium penegakan KEJ (kode etik jurnalistik) kemudian harus menerapkan kode Quick Response (QR) bagi setiap media massa. Ini dilakukan agar seluruh insan pers dapat kembali kepada ketentuan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Belakangan kemudian Dewan Pers (DP) banyak menuai protes khususnya dari kalangan media antimanstream (media non arus utama). Dalilnya adalah pembungkaman kebebasan Pers, dalam hal ini DP dituding menjadi alat yang telah diinjeksi kepentingan kekuasaan. Akhirnya persoalan menjadi bola liar bagai buah simalakama, di satu sisi DP ingin membendung hoax namun di sisi lain justru mematikan kegiatan jurnalistik media-media non arus utama.

Persaingan Market Picu Kompetisi Tanpa Batas

Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan survei yang dilakukan  Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII),  terungkap bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah terhubung ke internet (Kompas.com: 24/10/2016). Itu berarti bahwa sekitar 130 juta orang di Indonesia dengan mudah meraih informasi. Opini dan informasi kemudian dengan mudah mempengaruhi publik. Dan kesempatan ini akhirnya memicu persaingan market para penyedia layanan informasi tanpa batas. Pagar Api dalam bermedia dilupakan. Tentu perusahaan-perusahaan pers berada di posisi pertarungan ini. Fenomena ini kemudian makin menguatkan eksistensi jurnalisme tak terkontrol di tanah air. Bahwa menjamurnya media-media siber (on line) adalah puncaknya. Hal itu terlihat dari kian banyaknya orang yang kini dengan mudah mengambil peran jurnalis. Apa yang terjadi kemudian, ribuan wartawan baru telah lahir. Orang-orang berlomba jadi wartawan, entah sesungguhnya atau mestinya harus dilabeli abal-abal. Penulis jadi teringat kata seorang kawan, bahwa tukang parkir pun kini bisa menjadi wartawan. Alhasil, aktivitas jurnalistik menjadi medium semua orang untuk merebut momentum, termasuk setiap momentum politik. Lahirlah apa yang disebut jurnalisme politik (political journalism), dan sepertinya menjadi puncak aktivitas jurnalisme masa kini.

Ketika penulis coba menghubungkan kenyataan ini dengan pendapat Noam Chomsky, maka sesungguhnya hal ini bukanlah barang baru. Bahwa dalam perspektif ekonomi politik (meminjam istilah Professor liguistik Amerika Serikat) ini sesunguhhnya sudah dikenal istilah jurnalisme propaganda, yaitu praktek jurnalisme “siap saji”. Hal ini berperan mewadahi kepentingan setiap orang atau kelompok, yang pada umumnya dikontrol oleh uang, kekuasaan atau pejabat negara (controlled by the moneyed and power elite). Sayangnya, dalam jurnalisme propaganda tersebut, media tidak lagi menganut semangat memberikan pendidikan politik yang sehat, mala media membiarkan diri menjadi political public relation para elit politik.

Di setiap momentum Pilkada misalnya, tak jarang wartawan menjadi tim sukses, bahkan banyak yang merangkap sebagai anggota Partai Politik. Rakyat kemudian hanya bisa menjadi korban "teror media" dari insan jurnalisme politik dan politik jurnalisme, sementara elit hanya sibuk merebut panggung kekuasaan dari hasil media propoganda.

Selamat Hari Kebebasan Pers Internasional, 3 Mei 2017.

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item
close
Banner iklan disini