PEREMPUAN TUGU BUNDARAN

Foto Ilustrasi: imagesbuddy.com
Diisap kreteknya dalam-dalam hingga satu matanya tertutup, mulutnya mengeluarkan asap yang bergumpal seiring keluarnya pula asap dari hidungnya, hampir bersamaan. Mungkin berselang dua detik saja. Ah, bukan. Mungkin sekitar 3 atau 4 detik. Perempuan itu lalu berdiri dengan kepala menggeleng dan kembali duduk sambil mengangkat satu kakinya di dekker taman dekat bundaran tugu SMART.
**********************************
Oleh: Indra Anwar
Diayungkan tangan kemulutnya hingga ujung kretek dapat leluasa masuk ke mulut lalu diisapnya. Asapnya kembali dihembuskan. Kurang ajar……! Diulanginya sampai tiga kali dengan suara pelan. 

Kurang ajaaaaarrrrr! Kali ini suaranya membahana dan tersentak berdiri sedang dua bola matanya ingin keluar pada saat Ia menatap kepada sepasang muda-mudi yang berada di atas motor. Lelaki muda itu memeluk gadis yang berambut segi empat dengan baju you can see. Tak peduli dengan teriakan perempuan pemilik mata coklat. 

Angin menderai perempuan dengan kretek di antara jari manis dan telunjuknya sementara matanya masih melotot menatap muda-mudi yang telah dimabuk asmara. Serasa ingin berujar “Sungguh sudah terlewat batas kelakuan anak muda zaman sekarang”. 

Rambut hitamnya tak pernah disisir, tubuhnya langsing seindah kulitnya yang sawo matang. Dulu katanya, dia adalah seorang perempuan yang sangat anggun, banyak lelaki yang yang berniat mempersunting dirinya. baik anak pejabat maupun anak pengusaha tapi perempuan itu tak pernah menggubrisnya. Untuk menatap wajah atau mendengar namanya pun enggan. 

“Tania, Aku akan ke kota. Mencari dan mengumpulkan rupiah demi rupiah agar Aku dapat mempersuntingmu”. Seperti itu katamu padaku waktu itu di taman dekat bundaran. Aku mempercayai setiap ucapan yang kau lisankan padaku. Malam berganti malam, siang berganti siang, hingga senja pun telah berganti malam. Hampir tiap hari menantikanmu di Tanjung Babia. Tempat di mana jemariku dengan iklas melepaskan jemarimu untuk mengarungi samudera itu. 

Sejak itu, setiap nelayan yang kujumpai, selalu saja kabarnya sama. “Maaf Tania, Lelakimu kali tak ikut kepadaku”. Sejak itu hingga sampai detik ini engkau tak pernah memberiku kabar, Kasim. Entah apa kau masih hidup atau sudah mati. Selalu saja perasaanku menghantui.

Bukan hanya soal rasa cintaku yang harus kutanggung tetapi juga soal adat Sim sebab engkau telah bertemu dengan Abah-ku, dan menyatakan engkau akan datang dengan iringan pengantin. Memakai baju adat dan aku mempelai perempuanmu. Dengan gagah berani kau datang dengan menggunakan kapal Sandeq. 

Aku hanya diam ketika Abah dan keluargaku bertanya kepadaku mengenai kedatanganmu. Kupeluk bantal guling dengan tubuh telungkup. Bayangan perkataanmu yang menjadi semangat hidupku. Dan Aku yakin engkau akan datang Sim. Datang dengan iringan pengantin, dan kita dihalalkan oleh penghulu depan Abahku dan walimu. 

Matahari yang berbaur dengan air asin hingga menjadikan laut menjadi orange kerap melihatku berada di bibir pantai Tanjung Babia. Berdiri. Bahkan angin pun mengusap kristal-kristal pipiku hingga kering. Dan senja berganti malam. 

Sim. Sinar mentari menusuk kulitku bagai onak yang kehilangan tuan, kau dihadapanku. Matamu tajam menatapku, Aku pun demikian. Rupanya rinduku telah menelanjangi diriku hingga tak kuasa mengendalikan tubuhku untuk memelukmu. Sungguh! Tapi itu tak kulakukan. Namun, ketidaksadaranku telah mengayunkan lenganku dan jemari-jemariku mekar dan mendarat ke pipimu. Mungkin itu lebih baik. 

Sebab sedari tadi ketika kau injakkan pasir Tanjung Babia ini. Gemuruh angin mengabariku, juga pasir-pasir itu memaksaku untuk melakukannnya. Sebab janji yang kau lisankan ketika kau mengangkat kakimu dan membekaskan kaki di bibir Tanjung ini. Engkau bersumpah akan pulang dan membawa iringan pengantin. kau mempelai lelakinya dan Aku perempuannya. Tapi mengapa engkau datang bertandang ke Tanjung ini dengan perempuan yang telah menggendong anak lelakimu.

Ingin rasanya mengutuk diriku sendiri, biar Aku menjadi air lalu menyatu dengan samudera agar ketika engkau berangkat pulang ingin kutenggalamkan katintingmu agar engkau tahu betapa sakit dan perihnya batinku. 

Atau Aku menjadi pasir menyatu pasir-pasir Tanjung Babia ini, agar kelak jika engkau bersama anak-anakmu bermain di pantai ini aku dapat memeluk tubuhmu dengan kehangatanku, dan aku rela terinjak oleh dirimu.

Tetesan kristal mengalir di pipi dan bisikan senja itu menyatu badanku gemetar kretek jatuh bersetebuh dengan tanah.

 “Eh…jangan di sini!”

Perempuan itu pergi, suaranya terbahak-bahak. Dipungutnya gelas yang berisi air di pinggir jalan dan meminumnya. Menyusuri jalan Ir. Sukaro dari Ako hingga depan Minimarket Waladun. (*)


Pangkayu, 16 Februari 2015

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item