Politik Balas Jasa atau Balas Dendam (Sebuah Realitas Sosial Praktek Politik Demokrasi Lokal)


Oleh : Mahyuddin *

Akhir-akhir ini, pemberitaan di media diriuhkan dengan persiapan perhelatan pemilu akbar (serentak) awal tahun 2017 mendatang. Di berbagai provinsi pun telah menetapkan beberapa calon kepala daerah baik di  tingkat kabupaten (Bupati) maupun di tingkat provinsi (Gubernur) yang akan berkontestasi dalam prosesi pemilukada.

Seperti kita ketahui bersama, untuk sampai pada tampuk kepemimpinan tertentu, mulai dari jabatan Presiden, Gubernur, Bupati sampai pada level paling bawah sekalipun, akan melalui suatu sistem demokrasi yaitu mereka dipilih secara langsung oleh para konstituen. Kompetisi tersebut yang kemudian memberi warna tersendiri dalam memperebutkan posisi-posisi strategis di pemerintahan lokal.

Beberapa pekan yang lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi Sulawesi Barat juga telah menetapkan secara resmi pasangan calon kepala daerah tingkat provinsi yaitu calon Gubernur. Bersamaan dengan itu, konstelasi politik di daerah pun mulai memanas yang tentu saja melahirkan intrik-intrik politik tersendiri.

Dinamika praktik politik di daerah-daerah melahirkan fenomena menarik sekaligus unik karena merangsang kita untuk merenungkan kembali akan makna dan kualitas penerapan demokrasi di tingkat lokal. Dalam pemilukada misalnya, sudah menjadi rahasia umum, seringkali terjadi gejolak politik yang menciderai kualitas demokrasi itu sendiri, dimana kita kadangkala menjumpai elit politik berkompetisi secara tidak sehat guna mencapai jabatan tertentu.

Ada banyak contoh kasus saat menjelang pemilu, mereka yang memiliki posisi jabatan strategis kadangkala memaksakan kehendak-kehendak mereka yang secara gamblang memaksa para bawahannya untuk memilih kandidat tertentu. Tidak berhenti sampai disitu, jika seseorang berseberangan dalam menentukan pilihan politik, maka mereka dianggap sebagai lawan dan akan disingkirkan. Ada saja oknum yang menggunakan praktik-praktik politik yang sama sekali tidak mencontohkan pendidikan politik yang baik dalam prosesi pilkada.

Dalam konteks ini, ciri khas yang paling menonjol, terutama di daerah-daerah bukan hanya bersinggungan dengan dugaan money politik melainkan seseorang mempergunakan jabatan strategis tertentu untuk mengintervensi orang lain demi memuluskan tujuannya.

Hak-hak kedaulatan politik seseorang mulai dilambrak hanya karena ambisi mengejar jabatan. Padahal, demokrasi mengajarkan kita bahwa seorang individu adalah pemilih yang otonom. Artinya, setiap kita adalah pemegang kedaulatan dalam menentukan pilihan politik. Kita bebas menentukan hak pilih secara mandiri, rasional dan objektif dan terbebas dari tekanan ataupun intervensi dari pihak manapun. Akan tetapi, praktik politik di beberapa daerah nampaknya masih jauh dari prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya. Hari ini, orang-orang yang berada dalam naungan jabatan struktural tertentu belum bisa melakukan pilihan politik secara otonom dan terbebas dari intervensi politik.

Sebelum pemilukada menjelang, mereka yang berafiliasi dengan pemerintahan akan dipaksa untuk melakukan kepatuhan secara kolektif terhadap pemimimpin yang ada di lingkungannya. Jika mereka tidak patuh atas perintah atasan, maka mereka harus bersiap-siap dimutasi atau bahkan sampai pada pelengseran dari jabaatannya. Sebaliknya, jika mereka mengikuti kehendak atasan, maka mereka akan dirangkul bahkan diberi iming-iming posisi jabatan tertentu.

Sesuai dengan tema yang diusung dalam tulisan ini, ada dua kemungkinan yang paling sering terjadi pada aras perpolitikan di daerah yaitu “politik balas jasa atau politik balas dendam”. Barangkali tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa memang seperti itulah realitas yang sering terjadi pada daur ulang praktik politik di tingkat lokal. Para elit politik yang sejatinya memberi keteladanan atau mengajarkan pendidikan politik yang baik justru memberi citra buruk dalam masyarakat karena perilaku politik segelintir orang yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.

Kita demikian kuatir dengan peristiwa-peristiwa politik seperti ini, sebab hal ini sama sekali tidak mencerminkan demokrasi yang baik. Jika hal tersebut dibiarkan begitu saja,  tentu kondisi seperti ini berimplikasi secara sosial, terutama bagi masyarakat awam yang belum terlalu memahami bagaimana esensi demokrasi yang sesungguhnya. Bisa jadi mereka akan menganggap bahwa fenomena seperti ini merupakan hal yang wajar dalam dunia politik yang pada skala tertentu sangat-sangat berbahaya untuk kelanjutan kualitas demokrasi bagi generasi berikunya.

Oleh karena itu, cita-cita penerapan substansi demokrasi adalah sebuah keharusan dan harapan bersama yaitu bagaimana kebebasan menentukan pilihan politik benar-benar dapat diaplikasikan oleh setiap individu, bebas dari segala bentuk paksaan maupun intimidasi. Dengan begitu, kita akan mampu menciptakan iklim politik dalam pemilukada yang benar-benar demokratis dan tentu saja lebih humanis. (*)

*Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Gadjah Mada

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item
close
Banner iklan disini