Ada' Tuho dan HAM

Harmegi Amin *)
OPINI,- Mungkin tidak seorang pun yang mengahui bahwa sesungguhnya Ada' Tuho dan Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki satu prinsip yang sama. Pasalnya Ada' Tuho tidak pernah dipublikasikan jangankan kepada dunia dalam konteks lokal sekalipun tidak banyak orang mengenal apa Ada' Tuho itu. Tetapi, penulis tetap berkeyakinan bahwa ada filosofi yang sangat erat antara kebiasaan masyarakat Ulu Salu ini dengan prinsip HAM dunia.

Sebagaimana dijelaskan terdahulu (baca: Harmegi Amin, Menganal Ada' Tuho; Tinjauan History & Prediksi Masa Mendatang) bahwa Ada' Tuho adalah pengakuan paripurna terhadap hidup dan nilai-nilai kehidupan manusia. Ada' artinya kebiasaan dan Tuho artinya hidup, adalah pengakuan terhadap nilai hidup sebagai sesuatu yang paling tinggi. Dalil (dalele) Ada' Tuho "moa muitami balumbunganna ada' tuhoko tammate mapia takkadake' adalah ikrar filosofis yang seirama dengan "semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak-hak" dimana kalimat ini termaktub dalam pasal 1 Deklarasi Universal HAM yang populer pasca deklarasi Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Wina Austria tahun 1993.

Membandingkan lebih jauh soal Ada' Tuho dan HAM, setidaknya kita akan menemukan satu "misteri" bahwa HAM ternyata adalah buah dari hukum atau kebiasaan sebuah entitas sosial di Inggris. Bahwa piagam perjanjian antara Raja John Inggris dengan para bangsawan yang kemudian disebut Magna Charta itulah menjadi cikal bakal HAM. Isinya yakni pemberian jaminan beberapa hak oleh raja kepada para bangsawan beserta keturunannya, seperti hak untuk tidak dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan pengadilan. Lalu apa bedanya dengan kebiasan-kebiasaan sebuah komunitas kecil di Ulu Manda? Dimana Daeng Malulung (Tomakaka I Ulumanda) yang sejak abad VII telah menghadirkan tatanan Ada' Tuho, hingga seorang perempuan dan anak kecil pun berhak didegarkan suaranya dalam sidang adat yang disebut "ballanga latte". Pengakuan kebebasan yang ada itu kemudian melembaga hingga saat ini. Sayangnya tak banyak generasi muda yang ambil bagian dalam menjaga kebiasaan itu agar tak habis oleh pengikisan kebudayaan asing.

Kembali ke soal HAM, sebelumnya perlu dicatat bahwa pengakuan eksistensi HAM telah lama bergulir di berbagai belahan dunia, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Kita bisa membukanya kembali lewat sejarah HAM dunia yang diawali dari pemikiran seorang filsuf Inggris bernama John Locke di abad ke- 17. Locke merumuskan adanya hak alamiah (natural rights) yang kemudian menjadi titik star sejarah HAM.

Selain pikiran John Locke itu, setidak terdapat tiga peristiwa besar yang turut menjadi rujukan deklarasi HAM di Wina, antara lain peristiwa Magna Charta di Inggris (1215) seperti yang saya sebut di atas, Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789). Pada intinya semua peristiwa itu menghendaki adanya pengakuan atas hak-hak alamiah manusia mencakup hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite). HAM kemudian berkembang maju pesat, apatahlagi pasca perang dunia II yang menyisahkan banyak tragedi kemanusiaan, misal genosaide dan pembantaian kelompok-kelompok tertuntu di atas muka bumi. Kekejaman seperti pada konflik Bosnia dan Herzegovina, Angola, Liberia dan lain-lain juga menjadi pemicu lahirnya deklarasi HAM. Jangan lupa, pengakuan liberty, egality dan fraternite ini ternyata diagungkan dalam Ada' Tuho dengan dalil "nibatta di bitti tau tappa di bitti' tedong, nibatta di bitti' tedong tappa di pa'barang barangang". Yang pada dasarnya tidak boleh terjadi pertumpahan darah dalam wilayah Ada' Tuho kapan pun itu, sehingga di setiap dosa selalu ada jalan pengampunan. Sanksi terberat bagi pelanggar hukum adalah "mate di ada' tata' di kasarrapuang". Mate di ada' tata' di kasarrapuang" adalah karma yang konsekuensinya sampai akhir hayat bahkan sampai tujuh turunan, yakni pengakuan bahwa yang bersangkutan bukan bagian komunitas atau keluarga lagi. Sanksi ini dipandang masyarakat lebih berat daripada ditembak mati atau dipenggal kepala, pada sesungguh lebih manusiawi dari sudut pandang HAM.

Pada 13 September 2007 bertempat di Markas PBB New York Amerika Serikat, ditandatangani deklarasi pengakuan hak individu sebagai hirarki HAM. Deklarasi ini menggariskan hak individual dan kolektif para penduduk asli (pribumi), dan juga hak mereka terhadap budaya, identitas, bahasa,pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan isu-isu lainnya. Deklarasi kemudian menekankan hak-hak untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi, hak akan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka. Deklarasi ini melarang diskriminasi terhadap penduduk asli, dan memajukan partisipasi secara penuh dan efektif dalam segala hal yang menyangkut masalah mereka, serta hak mereka untuk tetap berbeda, mengusahakan visi pembangunan ekonomi dan sosial mereka sendiri.

Pada sesungguhnya kita dengan jelas dapat melihat bagaimana pengakuan paripurna untuk kelompok-kelompok identitas budaya. PBB sebagai refresentasi negara-negara dunia, memberikan jaminan luar biasa terhadap setiap kearifan. Hal ini menjadi sangat menarik karena akhir-akhir ini banyak isu pemaksaan kehendak dan pembenaran mutlak pada suatu ajaran dan hukum tertentu. Karena itu sebagai bagian akhir dari risalah ini, sudah semestinya setiap orang mengembalikkan falsafah hidup entitas kelompoknya. Bahwa memberikan pengakuan eksistensi individu sebagai natural rights adalah kewajiban asasi setiap orang. Hak-hak individu itu sejatinya terpelihara, mendapat ruang aktualisasi secara utuh. Ada' Tuho di Ulumanda misalnya, sudah sepantasnya diperkenalkan lebih jauh sebagai sebuah kearifan dunia.

*) Peneliti budaya Ada' Tuho/ Pemred. fokusmetrosulbar.com

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item
close
Banner iklan disini