Dilema Full Day School Bagi Pelajar di Daerah

Oleh: Maman Suryaman (*)

Salah satu pengertian pendidikan adalah proses transformasi pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses itu dilakukan melalui komunikasi (pengajaran), pelatihan dan penelitian. Pendidikan juga dapat dilakukan dengan bimbingan orang lain, tetapi juga secara otodidak. Tentu masih banyak cara dapat dilakukan, dan apapun modelnya pendidikan tetaplah hal paling urgent dalam kehidupan, baik terhadap diri sendiri, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara. Karena itulah setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan merupakan hak asasi manusia.

Di Indonesia sendiri, pendidikan diposisikan sangat penting. Dimana regulasi sangat jelas memberikan porsi terbesar di sektor pendidikan. Hal ini bisa dilihat jelas termaktub dalam pembukaan UUD Tahun 1945 pada kutipan alinea ke empat, berbunyi "mencerdaskan kehidupan bangsa". Ini adalah salah satu tujuan bernegara. Bahwa para pendiri bangsa ini meyakini hanya dengan pendidikanlah negara bisa maju dan berkembang. Bersaing dengan negara-negara yang sudah menyandang gelar negara maju lebih dahulu.

Pemikiran ini kemudian, selalu menjadi bahan diskusi dalam merumuskan model dan metode pendidikan yang paling tepat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satunya adalah Full Day School. Bahwa pemerintah Indonesia baru-baru mengeluarkan wacana Full Day School (FDS) tersebut. Rencananya FDS akan ditetapkan oleh presiden Republik Indonesia Joko Widodo atas usulan Kementrian Pendidikan di bawah komando Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy. Kebijakan ini diklaim sebagai salah satu upaya mengembangkan pendidikan karakter anak didik dan memianilisir kegiatan-kegiatan praktek "nakal" anak sekolah. Sebut saja tawuran antar pelajar sebagai salah satu contohnya.

Berangkat dari wacana di atas, Penulis menilai bahwa kebijakan pemerintah tentang penetapan Full Day School ada hal yang sangat menggelitik. Penulis melihat bahwa mekanisme FDS dengan menerapkan lima hari sekolah selama 12 jam adalah kebijakan yang berlebihan. Hal itu akan menyita waktu bukan hanya bagi siswa, tetapi juga para pendidik.

Bisa dibayangkan, dimana waktu yang tersita mulai dari pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul 17. 00 sore. Kita akan sangat sulit memberikan ruang interaksi siswa dan keluarganya yang dipastikan sangat terbatas. Padahal bagaimanapun, pendidikan melalui interaksi keluarga adalah hal yang tidak bisa hilang. Lebih para lagi dengan nasib anak-anak desa yang punya jarak rumah dan sekolah cukup jauh. Sangat memprihatinkan apabila jarak dari rumah ke sekolah itu jauh dan tak ada rumah penduduk disekitar jarak yang ditempuhnya. Kondisi keselamatan dan keamanan siswa sangatlah perlu diperhatikan apabila kebijakan tersebut ditetapkan. Sebab jikalau pulang dari sekolah jam 5 sore, tak menutup kemungkinan ada siswa pedesaan yang sampai di rumah setelah magrib. Ini akan menjadi dilema yang nantinya akan dihadapi para pelajar di daerah-daerah pedesaan.

Perlu juga diingat bahwa kapasitas dan memori otak anak sekolah tentu terbatas. Naas jika dipaksakan untuk Full Day School. Belum lagi bagi mereka yang tergolong tak bisa dipungkiri harus mengambil peran membantu keluarga usai pulang sekolah. Karena fakta yang terjadi, tak sedikit siswa yang terjun membantu orang tuanya usai pulang sekolah. Bagaimna bisa jika waktu sekolah cukup lama dengan sistem FDS.

Karena itu sebagai risalah akhir tulisan singkat ini, sudah sepantasnya pemerintah mempertimbangkan kebijakan tersebut. Jangan sampai kebijakan ini bila dipaksakan justru akan menambah deretan anak putus sekolah. Penulis menyarankan agar pemerintah lebih jeli melihat kondisi di lapangan khususnya peserta didik di daerah-daerah pelosok. (*)

*Penulis adalah Ketua BEM Fakultas Pertanian Universitas Tomakaka Mamuju.

Related

#NASIONAL 1872387788990739029

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item
close
Banner iklan disini